Bencana Pendidikan

Share on :


Guru Mengajar Tanpa Tuah Tanpa Wibawa
       Merasa jadi sasaran kritik dan kecaman para sufi, pada Sabtu sore  sekumpulan kepala sekolah SMA,SMK, MA, SMP, dan  MTs  dipimpin Dindang Lobha mendatangi pesantren sewaktu para sufi sedang berbincang di teras musholla. Para kepala se...kolah yang semula akan memprotes Guru Sufi dan para sufi yang suka mengkritik sekolah mereka, tiba-tiba kebingungan sewaktu berhadapan dengan Guru Sufi. Alih-alih akan protes, Dindang Lobha bersama teman-temannya justru menyampaikan keluh-kesah kepada Guru Sufi tentang bagaimana sulitnya mendidik anak-anak jaman sekarang yang cenderung egois, hedonis, pragmatis, individualis, malas, suka membolos, tidak patuh, bahkan berani menentang guru. “Beda dengan zaman dulu, Mbah Kyai, murid-murid sekarang ini sulit diatur dan menolak patuh pada guru. Kalau guru mendidik dengan keras, katanya melakukan kekerasan lalu dihujat rame-rame,” kata Dindang Lobha.
       “Zaman memang sudah berubah, segala sesuatu juga berubah,” sahut Guru Sufi.
       “Itulah sulitnya menjadi guru di zaman ini, Mbah Kyai,” kata Dindang Lobha.
        “Tapi dalam tradisi belajar-mengajar, ada hal-hal yang tidak berubah tetapi hanya menyesuaikan dengan keadaan,” sahut Guru Sufi mulai memancing bahasan.
          “Maksudnya tidak berubah tapi hanya menyesuaikan dengan keadaan itu bagaimana, Mbah Kyai,” sahut Bawi Grangsang, kepala SMA SBI ingin penjelasan.
          “Ya itu yang menyangkut nilai-nilai keguruan yang pelaksanaannya menyangkut citra mulia sosok guru sebagai pendidik, sebagaimana tidak berubahnya orang melakukan sholat yang di zaman apa pun seperti itu syarat-syarat dan rukunnya serta amaliahnya,” kata Guru Sufi.
             “Dalam kaitan dengan guru, bagaimana Mbah Kyai?” tanya Bawi Grangsang.
    Guru Sufi tidak menjawab. Setelah diam sejurus, ia mengumandangkan tembang dhandanggula yang dicuplik dari Serat Wulang Reh, sebagai berikut:
        “Lamun angguguru kaki/ amiliha manungsa kang nyata/ ingkang becik martabate/ sarta kang wruh ing ukum/ kang ngibadah lan kang wirangi/ sukur oleh wong tapa/ ingkang wus amungkul/ tan mikir pawehing liyan/ iku pantes sira guronana kaki/ sartane kawruhana//”
           (Jika engkau mencari guru, pilihlah manusia sejati, yang baik martabatnya, yang tahu hukum, yang menjalankan ibadah dan teguh menjalankan pantangan (wara’), syukur jika mendapat seorang pertapa, yang tidak terikat duniawi, tidak memikirkan pemberian orang, itulah yang pantas engkau jadikan guru, hendaknya ini engkau ketahui).
            “Menurut Kangjeng Susuhunan Paku Buwono IV yang menulis Serat Wulang Reh, ciri-ciri guru yang luhur dan mulia itu meliputi: manusia sejati, yang ditandai ciri (1) bermartabat baik; (2) memahami hukum; (3) menjalankan ibadah; (4) teguh menjalankan pantangan; akan lebih baik jika ketemu guru berwatak pertapa, yang dicirikan watak (5) tidak terikat duniawi jiwa dan pikirannya; (6) tidak memikirkan pemberian orang lain. Enam kriteria yang ditetapkan sebagai watak guru itulah yang diusahakan untuk tidak berubah pada zaman apa pun, karena itu bersangkut-paut dengan citra keberadaan seorang guru dalam makna yang utuh. Jika keenam ciri guru itu dilanggar, maka hilanglah ruh guru dari jiwa seseorang meski dia berkedudukan formal sebagai guru.”
         “Tapi Mbah Kyai,” sahut Bawi Grangsang memprotes,”Kalau kriteria guru yang ditetapkan orang-orang zaman kuno itu harus dipakai sekarang, mana mungkin bisa dijalankan. Karena menjadi guru akan bermakna menjadi orang miskin yang sengsara dan serba kekurangan.”
       “Sampeyan pernah dengar lagu Omar Bakri?” Lebih Lanjut Klik Disini

POS TERBARU

loading...